Dalam kriminologi ada empat aliran yaitu:
1. Aliran klasik
aliran klasik adalah label umum untuk pemikir tentang kejahatan dan hukuman di abad ke-19 dan awal ke-18. Anggota yang paling menonjol dari para pemikir ini termasuk Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Kedua pemikir memiliki ide yang sama, bahwa perilaku kriminal berasal dari sifat manusia sebagai makhluk rasional dan hedonistik. Hedonis, karena orang cenderung bertindak untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara rasional, mampu menghitung kelebihan dan kekurangan dari tindakan itu sendiri, menurut sekolah klasik, seorang individu tidak hanya seorang hedonis, tetapi juga rasional, dan oleh karena itu selalu menghitung kelebihan dan kekurangan dari setiap tindakan, termasuk apakah ia telah melakukan kejahatan. Kemampuan ini memberi mereka kebebasan dalam memilih tindakan yang akan diambil baik untuk melakukan kejahatan atau tidak. Sementara itu, Jeremy Bentham melihat awal yang baru, bersifat utilitarian, yang menyatakan bahwa suatu tindakan tidak dinilai oleh keberlanjutan absolut yang tidak rasional, tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham mengatakan bahwa hukum pidana tidak boleh digunakan sebagai sarana balas dendam tetapi untuk mencegah kejahatan.
2. Aliran Positif
Aliran modern atau aliran positif muncul pada abad ke-19 yang dimulai dengan ide determinisme manusia. Pemahaman ini menggantikan doktrin kehendak bebas. Bagi aliran positif, manusia dipandang tidak memiliki kehendak bebas, tetapi dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal manusia itu sendiri. Ada tiga segmen teori dalam aliran positif. Pertama, segmen biologis Lambrosian mempertimbangkan karakteristik fisik penjahat. Kedua, segmen psikologis meliputi, antara lain, faktor psikologis seperti neurosis, psikosis dan gangguan psikotik yang membuat seseorang melakukan kejahatan. Ketiga, segmen sosial positivisme yang ditemukan di Adolphe Quetelet, Rawson, Henry Mayhew, dan memikirkan faktor sosial Durkheim, termasuk proverti, anggota subkultur, tingkat pendidikan rendah, kota padat, distribusi kekayaan sebagai faktor penentu dalam kejahatan. Adapun hukuman, sekte ini menganjurkan bahwa mereka yang bertanggung jawab tidak dihukum, karena itu hanya korban keadaan di luar kendali mereka sebagai individu. Tindakan yang lebih strategis adalah mereformasi lingkungan sistem (sosial, ekonomi, budaya, politik) secara holistik. Selain itu, terapi khusus untuk pelaku yang memiliki masalah psikologis dan biologis. Positivitis adalah pelopor Lmbrosso, Cesare (1835-1909), seorang dokter Italia yang menyebut bapak kriminologi modern melalui teori yang dikenal, Born Code. teori kriminal lahir didasarkan pada teori evolusi Darwin. Dengan teori ini Lambrosso menyangkal “kehendak bebas”, yang merupakan dasar aliran klasik dan mengusulkan konsep determinisme. Inti dari ajaran Lambrosso ini (Cantik Sri Utami, 2012: 67), yaitu;
1) Penjahat adalah orang jahat yang memiliki bakat;
2) bakat buruk diperoleh sejak lahir (penjahat lahir);
3) Bakat yang salah dapat dilihat dari karakteristik biologis (atavistic stigmata);
Lambrosso (Cantik Sri Utami, 2012: 67) melanjutkan:
Sempit dan melengkung seperti dahi, rahang besar dan tajam, gigi taring lurus, lengan lebih panjang; bibir tebal, hidung, tidak runcing, dan sebagainya.
3. Aliran neo klasik
Aliran neo klasik berkembang pada abad ke 19. Ia mempunyai basis pemikiran yang sama dengan aliran klasik, yakni kepercayaan pada kebebasan pada kebebasan berkehendak manusia. Doktrin dasarnya sama dengan aliran klasik, yakni bahwa manusia adalah mahkluk mempunya rasio, berkehendak bebas karenanya bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatannya. Meski demikian, terdapat sejumlah revisi yang dilakukan terhadap inti ajaran aliran klasik. Perubahan-perubahan tersebut antara lain:
A. Perubahan pada doktrin kehendak bebas. Bagi aliran neo klasik, dalam melakukan suatu perbuatan jahat, pelaku tidak hanya ditentukan free-will semata, tetapi juga dipengaruhi oleh:
> Patologi, ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa atau lain-lain keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya.
> Premeditasi, niat yang dijadikan ukuran dari kebebasan kehendak, akan tetapi hal iniberkaitan dengan hal-hal yang aneh (irrasional). Sebab, jika benar maka pelaku tindak pidana baru (untuk pertama kali) harus dianggap lebih bebas untuk memilih daripada residivis yang terkait oleh kebiasaan-kebiasaannya, oleh karena itu harus dihukum lebih berat.
B. Pengakuan adanya keadaan-keadaan atau keadaan mental dari individu.
C. Perubahan doktrin tanggungjawab sempurna yang mendasari pembalasan dalam aliran klasik. Bagi pemikir neo klasik, kesalahan tidak boleh ditimpahkan sepenuhnya kepada pelaku. Sebab, bias saja seorang melakukan kejahatan karena factor lain seperti kegilaan, kedunguan, usia dan lain-lain keadaan yang mempengaruhi “pengetahuan dan niat” pada waktu seseorang melakukan kejahatan.
D. Dimasukkan keterangan ahli dalam dalam acara pengadilan untuk menentukan besar tanggungjawab, apakah si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan yang salah
4. Aliran kritis
Aliran kritis juga dikenal dengan istilah “Critical Criminology” atau “kriminologi baru”. Aliran kritis sesungguhnya memusatkan perhatian pada kritik tentang kami terhadap intervensi kekuasaan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai kejahatan. Itulah sebabnya, aliran ini menggugat eksistensi hukum pidana. Pendukung aliran menganggap bahwa pihak-pihak yang membuat hukum pidana hanyalah sekelompok kecil dari anggota masyarakat yang kebetulan memiliki kekuasaan untuk membuat dan membentuk hukum pidana tersebut. Jadi, hal yang dikatakan sebagai kejahatan dalam hukum pidana dapat saja dianggap oleh masyarakat (umum) sebagai hal yang bukan tindak kejahatan (tidak jahat). Dan tentunya, hal tersebut terjadi jika persepsi para pembuat hukum pidana berbeda dengan persepsi luas pada umumnya.
Pendekatan yang cukup dominan dalam aliran yang kritis ini adalah pendekatan konflik (Romli Atmasista, 2011:72). Pendekatan ini beranggapan bahwa hukum dibuat dan ditegakkan bukan untuk melindungi masyarakat tetapi untuk nilai dan kepentingan kelompok yang berkuasa. Dengan demikian, pendekatan konflik memusatkan perhatiannya pada masalah kekuasaan dalam pendefinisian kejahatan. Pendekatan konflik beranggapan bahwa orang-orang dalam suatu masyarakat mempunyai tingkat kekuasaan yang berbeda untuk mempengaruhi pembuatan dan penegakan hukum. Pada umumnya, orang-orang atau kelompok yang memiliki kekuasaan yang lebih besar akan mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk menentukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan kepentingan mereka sebagai kejahatan. Pada saat yang sama , mereka juga memiliki kemampuan untuk menghindari pendefinisian perbuatan mereka sebagai kejahatan, walaupun perbuatan mereka tersebut bertentangan dengan nilai dan kepentingan orang atau pihak lain yang tentunya memiliki kekuasaan yang lebih rendah. Pendekatan konflik dengan demikian menghendaki suatu suatu hukum yang bersifat emansipatif atau hukum yang melindungi masyarakat sehingga dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat kelas bawah.